Rebana
Istilah “rebana” adalah sebutan umum untuk alat musik sejenis frame drum yang tersebar luas di wilayah Indonesia dan Malaysia. Di kampung-kampung Muslim keturunan Sasak yang terletak di Kabupaten Karangasem di Pulau Bali bagian timur, seperti Nyuling dan Danginsema, rebana juga menjadi sebutan ensembel instrumental yang terdiri dari beberapa frame drum tersebut.
Sasak adalah suku yang mayoritasnya menetap di Pulau Lombok. Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, pelbagai kerajaan kecil di pulau Bali, di antaranya Kerajaan Karangasem, menyebarkan kekuasaannya sampai di Pulau Lombok. Pada masa itulah orang-orang Sasak berpindah ke Pulau Bali dan mengembangkan ensembel instrumental rebana.
Dalam ensembel rebana, sejumlah rebana disetel dalam tangga nada slendro hingga terdengar seperti do-re-mi-sol, untuk memainkan melodi dengan sistem permainan musik interlocking di antara rebana-rebana yang berbeda ukuran dan nada, serta kadang-kadang ditambah suling bambu dan alat musik sejenis kecapi yang bernama “manolin”.
Ensembel rebana di Bali bagian timur ini awal mulanya terdiri dari 4 buah rebana yang dibawa dari Lombok. Ensembel ini diperkirakan berkembang dengan menambah jumlah rebana, suling, dan manolin setelah leluhur mereka datang di Bali hingga menjadi bentuk seperti sekarang. Secara musikal, ensembel rebana banyak terkena pengaruh dari musik gamelan angklung yang dimainkan oleh penduduk Hindu di Bali. Kesamaan musikal di antara dua musik ensembel tersebut merupakan hasil dari pertemuan budaya di antara penduduk Hindu dan Muslim.
Pada masa lalu, ensembel rebana dimainkan di pelbagai kampung keturunan Sasak yang terletak di sekitar Kota Amlapura, pusat Kabupaten Karangasem. Namun, ketika saya membuat penelitian pada tahun 2006, hanya tersisa di Kampung Dangisema dan Nyuling. Kini kesenian tradisi tersebut masih dipertahankan di Kampung Dangisema, tetapi situasinya lebih sulit untuk meneruskan di kampung Nyuling karena kekurangan pemain. Adapun di Pulau Lombok terdapat pula ensembel rebana yang memainkan melodi dengan setelan nada walaupun dari segi gaya musikal dan repertoar sangat berbeda dengan ensembel rebana di Pulau Bali
Sasak adalah suku yang mayoritasnya menetap di Pulau Lombok. Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, pelbagai kerajaan kecil di pulau Bali, di antaranya Kerajaan Karangasem, menyebarkan kekuasaannya sampai di Pulau Lombok. Pada masa itulah orang-orang Sasak berpindah ke Pulau Bali dan mengembangkan ensembel instrumental rebana.
Dalam ensembel rebana, sejumlah rebana disetel dalam tangga nada slendro hingga terdengar seperti do-re-mi-sol, untuk memainkan melodi dengan sistem permainan musik interlocking di antara rebana-rebana yang berbeda ukuran dan nada, serta kadang-kadang ditambah suling bambu dan alat musik sejenis kecapi yang bernama “manolin”.
Ensembel rebana di Bali bagian timur ini awal mulanya terdiri dari 4 buah rebana yang dibawa dari Lombok. Ensembel ini diperkirakan berkembang dengan menambah jumlah rebana, suling, dan manolin setelah leluhur mereka datang di Bali hingga menjadi bentuk seperti sekarang. Secara musikal, ensembel rebana banyak terkena pengaruh dari musik gamelan angklung yang dimainkan oleh penduduk Hindu di Bali. Kesamaan musikal di antara dua musik ensembel tersebut merupakan hasil dari pertemuan budaya di antara penduduk Hindu dan Muslim.
Pada masa lalu, ensembel rebana dimainkan di pelbagai kampung keturunan Sasak yang terletak di sekitar Kota Amlapura, pusat Kabupaten Karangasem. Namun, ketika saya membuat penelitian pada tahun 2006, hanya tersisa di Kampung Dangisema dan Nyuling. Kini kesenian tradisi tersebut masih dipertahankan di Kampung Dangisema, tetapi situasinya lebih sulit untuk meneruskan di kampung Nyuling karena kekurangan pemain. Adapun di Pulau Lombok terdapat pula ensembel rebana yang memainkan melodi dengan setelan nada walaupun dari segi gaya musikal dan repertoar sangat berbeda dengan ensembel rebana di Pulau Bali