Sarenjawa
Kampung Sarenjawa terletak di wilayah bagian tengah Kabupaten Karangasem, di Pulau Bali bagian timur. Kampung tersebut bersebelahan dengan Desa Budakeling yang merupakan pusat agama dan sastra Hindu serta dihuni sejumlah pendeta agama Hindu.
Asal-usul Kampung Sarenjawa adalah orang-orang Madura, Jawa Timur, yang datang ke Bali pada abad ke-15. Mitosnya, pada suatu masa seorang dukun yang kuat menjelma menjadi sapi besar dan memberontak mengganggu penduduk setempat sehingga raja membuat janji bahwa ia akan memberikan puterinya beserta tanah kepada orang yang mengalahkan sapi itu. Akhirnya, sapi itu berhasil dikalahkan oleh seorang lelaki Muslim bernama Raden Kyai Abdul Jalil. Diapun menikahi puteri raja dan membangun kampung di tanah itu.
Asal-usul Kampung Sarenjawa adalah orang-orang Madura, Jawa Timur, yang datang ke Bali pada abad ke-15. Mitosnya, pada suatu masa seorang dukun yang kuat menjelma menjadi sapi besar dan memberontak mengganggu penduduk setempat sehingga raja membuat janji bahwa ia akan memberikan puterinya beserta tanah kepada orang yang mengalahkan sapi itu. Akhirnya, sapi itu berhasil dikalahkan oleh seorang lelaki Muslim bernama Raden Kyai Abdul Jalil. Diapun menikahi puteri raja dan membangun kampung di tanah itu.
Kesenian Sarenjawa
Di Kampung Sarenjawa terdapat dua kesenian tradisional, yaitu “burdah” yang merupakan seni vokal dengan syair berisi doa dan pujian yang diiringi permainan rebana, dan “rudat” yang merupakan tarian kelompok lelaki. Dua kesenian tersebut dipersembahkan pada malam Hari Raya Maulid Nabi sebagai ucapan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Rebana yang digunakan untuk burdah di Kampung Sarenjawa berukuran besar dan rendah suaranya, serta terbuat dari batang pohon kelapa, kulit sapi, atau kambing. Sedangkan rudat diiringi dengan rebana yang berukuran kecil yang memiliki kerincing-kerincing. Pada masa kini, lantunan burdah dengan iringan rebana sudah jarang dipentaskan di wilayah Bali. Tetapi di Kampung Sarenjawa ini tradisi tersebut tetap dijaga dan hidup sampai sekarang.
Dari generasi ke generasi, warga Sarenjawa memiliki hubungan yang erat dengan keluarga pendeta tinggi agama Hindu (Brahmana) dari desa sebelah, yaitu Bedakeling. Mereka memiliki tradisi untuk bergabung di dalam prosesi kremasi jika pendeta terhormat meninggal dunia (disebut “pelebon” di masyarakat Bali) dengan iringan rebana yang digunakan untuk burdah. Selain itu, ketika mengadakan pentas rudat pada Hari Raya Maulid Nabi, mereka membuat pawai dengan iringan rebana sampai ke Desa Bedakeling, lalu mempersembahkan rudat di depan pura Hindu di desa tersebut. Ini adalah contoh bahwa kesenian tradisi dan musik kadang-kadang dipersembahkan sebagai tanda rasa hormat kepada warga desa lain di sekitarnya.
Rebana yang digunakan untuk burdah di Kampung Sarenjawa berukuran besar dan rendah suaranya, serta terbuat dari batang pohon kelapa, kulit sapi, atau kambing. Sedangkan rudat diiringi dengan rebana yang berukuran kecil yang memiliki kerincing-kerincing. Pada masa kini, lantunan burdah dengan iringan rebana sudah jarang dipentaskan di wilayah Bali. Tetapi di Kampung Sarenjawa ini tradisi tersebut tetap dijaga dan hidup sampai sekarang.
Dari generasi ke generasi, warga Sarenjawa memiliki hubungan yang erat dengan keluarga pendeta tinggi agama Hindu (Brahmana) dari desa sebelah, yaitu Bedakeling. Mereka memiliki tradisi untuk bergabung di dalam prosesi kremasi jika pendeta terhormat meninggal dunia (disebut “pelebon” di masyarakat Bali) dengan iringan rebana yang digunakan untuk burdah. Selain itu, ketika mengadakan pentas rudat pada Hari Raya Maulid Nabi, mereka membuat pawai dengan iringan rebana sampai ke Desa Bedakeling, lalu mempersembahkan rudat di depan pura Hindu di desa tersebut. Ini adalah contoh bahwa kesenian tradisi dan musik kadang-kadang dipersembahkan sebagai tanda rasa hormat kepada warga desa lain di sekitarnya.